Senin, Oktober 29, 2007

Tekanan

Jangan takut akan tekanan. Ingat tekananlah yang mengubah sebongkah batubara menjadi berlian.

Sebuah legenda tua mengisahkan bahwa Tuhan pada mulanya menciptakan burung tanpa
sayap. Beberapa saat kemudian, Tuhan membuat sayap dan berkata kepada burung-burung, "Ayo, bawahlah beban ini dan jangan berhenti membawanya."

Mulanya sang burung terkejut, namun segera menuruti. Burung-burung tersebut mencoba membawa sayap itu diparuhnya, namun terlalu berat. Kemudian dicobanya dibawa dengan cakar, namun terlalu besar. Akhirnya salah seekor burung mencoba membawa sayap di punggung yang merupakan tempat yang paling tepat untuk diberi beban.

Diluar dugaan burung-burung itu, sayap-sayap tersebut tidak lama kemudian mulai tumbuh dan menyatu dengan tubuhnya. Salah seekor burung mulai mengepakkan sayapnya sementara yang lain mulai mengikutinya. Salah seorang burung dengan segera terbang dan mulai membubung tinggi!.

Apa yang semula menjadi beban berat, sekarang telah menjadi alat penting yang memampukan burung untuk pergi ke tempat-tempat yang belum pernah dikunjungi.. dan pada waktu yang bersamaan, mereka benar-benar menggenapi tujuan akhir penciptaan mereka.

Tugas dan tanggung jawab yang Anda Anggap sebagai beban hari ini mungkin merupakan bagian dari rencana Tuhan bagi hidup Anda, suatu sarana untuk mengangkat jiwa Anda dan mempersiapkan menuju kekekalan.

Sebab kamu tahu bahwa ujian terhadap imammu itu menghasilkan ketekunan. Biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tidak kekurangan apapun. - Yakobus 1:3,4 -

Tetap Berharga

Suatu ketika, ada seorang pembicara memulai kotbahnya dengan mengeluarkan selembar uang seratus ribu yang baru. Kemudian dia bertanya "Siapa diantara kamu yang mau uang ini?" Langsung saja pada mengangkat tangannya, banyak sekali.

Katanya lagi " Oke deh, ini akan saya berikan, tapi sebelumnya biar saya melakukan hal ini". Si pembicara meremas uang kertas seratus ribu itu, menjadi gulungan kecil yang kumal.

Kemudian dia buka lagi ke bentuk semula : lembaran seratus ribu, tapi sudah kumal sekali. Lalu dia bertanya " Siapa yang masih mau uang ini?" Tetap saja banyak yang angkat tangan, sebanyak yang tadi.

"Oke, akan saya kasih, tapi biarkan saya melakukan hal ini". Dia menjatuhkan lembaran uang itu ke lantai, terus diinjak-injak pakai sepatunya yang habis berjalan di tanah becek sampai nggak karuan bentuknya.

Dia tanya lagi" siapa yang masih mau?" Tangan-tangan masih saja terangkat. Masih sebanyak tadi.

"Nah, saudara-saudaraku, sebenarnya kita sudah mengambil satu nilai yang sangat berharga dari peristiwa tadi. Kamu semua masih mau uang ini walau bentuknya sudah nggak karuan lagi. Sudah jelek, kotor, kumal... tapi nilainya nggak berkurang : tetap seratus ribu rupiah. Sama seperti kita. Walau kamu sudah jatuh, tertimpa tangga pula...atau kamu gagal, nggak berdaya, terhimpit, atau dalam keadaan apapun, kamu tetap nggak kehilangan nilaimu.....karena kamu begitu berharga. Jangan biarkan kekecewaan, ketakutanmu menghancurkan kamu, harapanmu, atau cita-citamu. Kamu akan selalu tetap berharga."

Kamis, Oktober 25, 2007

Tapak Kaki Rata

Ada seorang anak laki-laki yang berambisi bahwa suatu hari nanti ia akan menjadi jenderal Angkatan Darat. Anak itu pandai dan memiliki ciri-ciri yang lebih daripada cukup untuk dapat membawanya kemanapun ia mau. Untuk itu ia bersyukur kepada Allah, oleh karena ia adalah seorang anak yang takut akan Allah dan ia selalu berdoa agar supaya suatu hari nanti impiannya itu akan menjadi kenyataan.

Sayang sekali, ketika saatnya tiba baginya untuk bergabung dengan Angkatan Darat, ia ditolak oleh karena memiliki telapak kaki rata. Setelah berulang kali berusaha, ia kemudian melepaskan hasratnya untuk menjadi jenderal dan untuk hal itu ia mempersalahkan Allah yang tidak menjawab doanya. Ia merasa seperti berada seorang diri, dengan perasaan yang kalah, dan diatas segalanya, rasa amarah yang belum pernah dialaminya sebelumnya. Amarah yang mulai ditujukannya terhadap Allah. Ia tahu bahwa Allah ada, namun tidak mempercayaiNya lagi sebagai seorang sahabat, tetapi sebagai seorang tiran (penguasa yang lalim). Ia tidak pernah lagi berdoa atau melangkahkan kakinya ke dalam gereja. Ketika orang-orang seperti biasanya berbicara tentang Allah yang Maha Pengasih, maka ia akan mengejek dan menanyakan pertanyaan-pertanyaan rumit yang akan membuat orang-orang percaya itu kebingungan.

Ia kemudian memutuskan untuk masuk perguruan tinggi dan menjadi dokter. Dan begitulah, ia menjadi dokter dan beberapa tahun kemudian menjadi seorang ahli bedah yang handal. Ia menjadi pelopor di dalam pembedahan yang berisiko tinggi dimana pasien tidak memiliki kemungkinan hidup lagi apabila tidak ditangani oleh ahli bedah muda ini. Sekarang, semua pasiennya memiliki kesempatan, suatu hidup yang baru.
Selama bertahun-tahun, ia telah menyelamatkan beribu-ribu jiwa, baik anak-anak maupun orang dewasa. Para orang tua sekarang dapat tinggal dengan berbahagia bersama dengan putra atau putri mereka yang dilahirkan kembali, dan para ibu yang sakit parah sekarang masih dapat mengasihi keluarganya. Para ayah yang hancur hati oleh karena tak seorangpun yang dapat memelihara keluarganya setelah kematiannya, telah diberikan kesempatan baru. Setelah ia menjadi lebih tua maka ia melatih para ahli bedah lain yang bercita-cita tinggi dengan tekhnik
bedah barunya, dan lebih banyak lagi jiwa yang diselamatkan.

Pada suatu hari ia menutup matanya dan pergi menjumpai Tuhan yang telah dibangkitkan. Di situ, masih penuh dengan kebencian, pria itu bertanya kepada Allah mengapa doa-doanya tidak pernah dijawab, dan Tuhan berkata, "Pandanglah ke langit, anakKu, dan lihatlah impianmu menjadi kenyataan." Di sana, ia dapat melihat dirinya sendiri sebagai seorang anak laki-laki yang berdoa untuk bisa menjadi seorang prajurit. Ia melihat dirinya masuk Angkatan Darat dan menjadi prajurit. Di sana ia sombong dan ambisius, dengan pandangan mata yang seakan-akan berkata bahwa suatu hari nanti ia akan memimpin sebuah resimen. Ia kemudian dipanggil untuk mengikuti peperangannya yang pertama, akan tetapi ketika ia berada di kamp di garis depan, sebuah bom jatuh dan membunuhnya. Ia dimasukkan ke dalam peti kayu untuk dikirimkan kembali kepada keluarganya. Semua ambisinya kini hancur berkeping-keping saat orang tuanya menangis dan terus menangis.

Lalu Tuhan berkata, "Sekarang lihatlah bagaimana rencanaKu telah terpenuhi sekalipun engkau tidak setuju." Sekali lagi ia memandang ke langit. Di sana ia memperhatikan kehidupannya, hari demi hari dan berapa banyak jiwa yang telah diselamatkannya. Ia melihat senyum di wajah pasiennya dan di wajah anggota keluarganya dan kehidupan baru yang telah diberikannya kepada mereka dengan menjadi seorang ahli bedah. Kemudian di antara para pasiennya, ia melihat seorang anak laki-laki yang juga memiliki impian untuk menjadi seorang prajurit kelak, namun sayangnya dia terbaring sakit. Ia melihat bagaimana ia telah menyelamatkan nyawa anak laki-laki itu melalui pembedahan yang dilakukannya.

Hari ini anak laki-laki itu telah dewasa dan menjadi seorang jenderal. Ia hanya dapat menjadi jenderal setelah ahli bedah itu menyelamatkan nyawanya. Sampai di situ, Ia tahu bahwa Tuhan ternyata selalu berada bersama dengannya. Ia mengerti bagaimana Allah telah memakainya sebagai alatNya untuk menyelamatkan beribu-ribu jiwa, dan memberikan masa depan kepada anak laki-laki yang ingin menjadi prajurit itu.

Tangan Tuhan

Di hari Tahun baru Cina. Kebiasaan di parokiku, aku akan menyiapkan manisan dan akan dibagikan kepada anak-anak yang datang ikut misa imlek. Ini sebetulnya merupakan kebiasaan masyarakat Cina, yakni bahwa pada saat mereka merayakan hari-hari pesta seperti tahun baru atau moon festival, mereka akan menghidangkan makanan istimewa.

Di tahun baru merekapun menyiapkan manisan-manisan khusus, dan diharapkan pada saat-saat istimewa seperti ini semua berusaha untuk berbicara tentang topik yang baik serta bertindak laku yang baik dan sopan (berbicara dan bertingkah manis).  Mengikuti budaya baik yang demikian sayapun menyiapkan manisan.

Setelah misa saya memberikan kendi sebagai ganti 'hong bao' , amplop merah yang berisi uang yang biasanya diberikan oleh orang yang lebih tua atau yang sudah bekerja kepada mereka yang masih muda. Semua anak nampak gembira dan bahagia dengan manisan yang ada. Namun di antara mereka saya melihat ada satu anak yang nampak murung.

Sambil merangkulnya saya menyuruh dia mengambil sendiri manisan yang ada. Ia tetap saja diam sambil matanya memperhatikan manisan yang ada. Apakah ia tak ingin manisan yang ada. Saya bertanya dalam hati. Namun dari pancaran matanya bisa dilihat bahwa ia ingin mendapatkan manisan tersebut.

Saya lalu mengambil inisiatip menggenggam manisan yang ada dan memberikannya kepada anak tesebut. Ia dengan serta merta menerima manisan itu dengan dua tangannya yang kecil itu. Wajahnya bersinar dan ia nampak gembira lalu berlari ke arah ibunya yang memperhatikan kami dari kejauhan. Sang ibu bertanya kepada anaknya; "Sayang..., mengapa engkau tidak mengambil sendiri manisan itu?"

Sambil memperhatikan manisan yang penuh mengisi kedua belah tangannya ia menjawab, "Karena tangan pastor besar sedang tanganku terlalu kecil. Manisan yang diberikan pastor ini pasti lebih banyak ketimbang kalau saya sendiri yang mengambilnya."

Luar biasa, sungguh anak yang pintar!!! Dan...Tangan Tuhan sudah pasti jauh lebih besar dari tanganku. Segala sesuatu ada dalam genggaman tanganNya. Ketika aku menghadapi segala problema hidupku hanya dengan mengandalkan kekuatan telapak tangganku yang kecil ini, aku pasti akan kecewa. Namun bila aku meletakan semuanya di tangan Tuhan, maka aku akan menerima lebih banyak dari kelimpahan rahmatNya. Tangan Tuhan adalah kekuatanku.

Tarsis Sigho

Nilai Seikat Kembang

Seorang pria turun dari sebuah mobil mewah yang diparkir di depan kuburan umum.
Pria itu berjalan menuju pos penjaga kuburan. Setelah memberi salam, pria yang ternyata adalah sopir itu berkata,
"Pak, maukah Anda menemui wanita yang ada di mobil itu? Tolonglah Pak, karena para dokter mengatakan sebentar lagi beliau akan meninggal!"
Penjaga kuburan itu menganggukan kepalanya tanda setuju dan ia segera berjalan di belakang sopir itu.

Seorang wanita lemah dan berwajah sedih membuka pintu mobilnya dan berusaha tersenyum kepada penjaga kuburan itu sambil berkata,
"Saya Ny. Steven. Saya yang selama ini mengirim uang setiap dua minggu sekali kepada Anda. Saya mengirim uang itu agar Anda dapat membeli seikat kembang dan menaruhnya di atas makam anak saya. Saya datang untuk berterima kasih atas kesediaan dan kebaikan hati Anda. Saya ingin memanfaatkan sisa hidup saya untuk berterima kasih kepada orang-orang yang telah menolong saya."

"O, jadi Nyonya yang selalu mengirim uang itu? Nyonya, sebelumnya saya minta maaf kepada Anda. Memang uang yang Nyonya kirimkan itu selalu saya belikan kembang, tetapi saya tidak pernah menaruh kembang itu di pusara anak Anda." jawab pria itu.
"Apa, maaf?" tanya wanita itu denga gusar.
"Ya, Nyonya. Saya tidak menaruh kembang itu di sana karena menurut saya, orang mati tidak akan pernah melihat keindahan seikat kembang.
Karena itu setiap kembang yang saya beli, saya berikan kepada mereka yang ada di rumah sakit, orang miskin yang saya jumpai, atau mereka yang sedang bersedih. Orang-orang yang demikian masih hidup, sehingga mereka dapat menikmati keindahan dan keharuman kembang-kembang itu, Nyonya," jawab pria itu.
Wanita itu terdiam, kemudian ia mengisyaratkan agar sopirnya segera pergi.

Tiga bulan kemudian, seorang wanita cantik turun dari mobilnya dan berjalan dengan anggun ke arah pos penjaga kuburan.
"Selamat pagi. Apakah Anda masih ingat saya? Saya Ny. Steven. Saya datang untuk berterima kasih atas nasihat yang Anda berikan beberapa bulan yang lalu. Anda benar bahwa memperhatikan dan membahagiakan mereka yang masih hidup jauh lebih berguna daripada meratapi mereka yang sudah meninggal.

Ketika saya secara langsung mengantarkan kembang-kembang itu ke rumah sakit atau panti jompo, kembang-kembang itu tidak hanya membuat mereka bahagia, tetapi saya juga turut bahagia.
Sampai saati ini para dokter tidak tahu mengapa saya bisa sembuh, tetapi saya benar-benar yakin bahwa sukacita dan pengharapan adalah obat yang memulihkan saya!"

Jangan pernah mengasihani diri sendiri, karena mengasihani diri sendiri akan membuat kita terperangkap di kubangan kesedihan. Ada prinsip yang mungkin kita tahu, tetapi sering kita lupakan, yaitu dengan menolong orang lain sesungguhnya kita menolong diri sendiri.

Rabu, Oktober 24, 2007

Memberikan Pujian

Seorang pengemis duduk mengulurkan tangannya di sudut jalan. Tolstoy, penulis besar Rusia yang kebetulan lewat di depannya, langsung berhenti dan mencoba mencari uang logam di sakunya. Ternyata tak ada. Dengan amat sedih ia berkata, "Janganlah marah kepadaku, hai Saudaraku. Aku tidak bawa uang.

Mendengar kata-kata itu, wajah pengemis berbinar-binar, dan ia menjawab, "Tak apa-apa Tuan. Saya gembira sekali, karena Anda menyebut saya saudara. Ini pemberian yang sangat besar bagi saya."

Setiap manusia, apapun latar belakangnya, memiliki kesamaan yang mendasar : ingin dipuji, diakui, didengarkan dan dihormati.

Kebutuhan ini sering terlupakan begitu saja. Banyak manajer yang masih beranggapan bahwa orang hanya termotivasi uang. Mereka lupa, nilai uang hanya bertahan sampai uang itu habis dibelanjakan. Ini sesuai dengan teori Herzberg yang mengatakan bahwa uang tak akan pernah mendatangkan kepuasan dalam bekerja.

Manusia bukan sekadar makhluk fisik, tapi juga makhluk spiritual yang membutuhkan sesuatu yang jauh lebih bernilai. Mereka butuh penghargaan dan pengakuan atas kontribusi mereka. Tak perlu sesuatu yang sulit atau mahal, ini bisa sesederhana pujian yang tulus.
Namun, memberikan pujian ternyata bukan mudah. Jauh lebih mudah mengritik orang lain.

Seorang kawan pernah mengatakan, "Bukannya saya tak mau memuji bawahan, tapi saya benar-benar tak tahu apa yang perlu saya puji. Kinerjanya begitu buruk."
"Tahukah Anda kenapa kinerjanya begitu buruk?" saya balik bertanya
"Karena Anda sama sekali tak pernah memujinya!"

Persoalannya, mengapa kita begitu sulit memberi pujian pada orang lain?
Menurut saya, ada tiga hal penyebabnya, dan kesemuanya berakar pada cara kita memandang orang lain.

Pertama, kita tidak tulus mencintai mereka. Cinta kita bukanlah unconditional love, tetapi cinta bersyarat. Kita mencintai pasangan kita karena ia mengikuti kemauan kita, kita mencintai anak-anak kita karena mereka berprestasi di sekolah, kita mengasihi bawahan kita karena mereka memenuhi target pekerjaan yang telah ditetapkan.

Perhatikanlah kata-kata di atas: cinta bersyarat. Artinya, kalau syarat-syarat tidak terpenuhi, cinta kita pun memudar. Padahal, cinta yang tulus seperti  pepatah Perancis: L`amour n`est pas parce que mais malgre. Cinta adalah bukan "cinta karena", tetapi "cinta walaupun". Inilah cinta yang tulus, yang tanpa kondisi dan persyaratan apapun.

Cinta tanpa syarat adalah penjelmaan sikap Tuhan yang memberikan rahmatNya tanpa pilih kasih. Cinta Tuhan adalah "cinta walaupun". Walaupun Anda mengingkari nikmatNya, Dia tetap memberikan kepada Anda. Lihatlah bagaimana Dia menumbuhkan bunga-bunga yang indah untuk dapat dinikmati siapa saja tak peduli si baik atau si jahat. Dengan paradigma ini, Anda akan menjadi manusia yang tulus, yang senantiasa melihat sisi positif orang lain. Ini bisa memudahkan Anda memberi pujian.

Kesalahan kedua, kita lupa bahwa setiap manusia itu unik. Ada cerita mengenai seorang turis yang masuk toko barang unik dan antik. Ia berkata, "Tunjukkan pada saya barang paling unik dari semua yang ada di sini!" Pemilik toko memeriksa ratusan barang: binatang kering berisi kapuk, tengkorak, burung yang diawetkan, kepala rusa, lalu berpaling ke turis dan berkata, "Barang yang paling unik di toko ini tak dapat disangkal adalah saya sendiri!"

Setiap manusia adalah unik, tak ada dua orang yang persis sama. Kita sering menyamaratakan orang, sehingga membuat kita tak tertarik pada orang lain. Padahal, dengan menyadari bahwa tiap orang berbeda, kita akan berusaha mencari daya tarik dan inner beauty setiap orang. Dengan demikian, kita akan mudah sekali memberi pujian.

Kesalahan ketiga disebut paradigm paralysis. Kita sering gagal melihat orang lain secara apa adanya, karena kita terperangkap dalam paradigma yang kita buat sendiri mengenai orang itu. Tanpa disadari kita sering mengotak-ngotakkan orang. Kita menempatkan mereka dalam label-label: orang ini membosankan, orang itu menyebalkan, orang ini egois, orang itu mau menang sendiri. Inilah persoalannya: kita gagal melihat setiap orang sebagai manusia yang "segar dan baru". Padahal, pasangan, anak, kawan, dan bawahan kita yang sekarang bukanlah mereka yang kita lihat kemarin. Mereka berubah dan senantiasa baru dan segar setiap saat.

Penyakit yang kita alami, apalagi menghadapi orang yang sudah bertahun-tahun berinteraksi dengan kita adalah 4 L (Lu Lagi, Lu Lagi -- bahasa Jakarta). Kita sudah merasa tahu, paham dan hafal mengenai orang itu. Kita menganggap tak ada lagi sesuatu yang baru dari mereka. Maka, di hadapan kita mereka telah kehilangan daya tariknya.

Sewaktu membuat tulisan ini, istri saya pun menyindir saya dengan mengatakan bahwa saya tak terlalu sering lagi memujinya setelah kami menikah. Sebelum menikah dulu, saya tak pernah kehabisan bahan untuk memujinya. Sindiran ini, tentu, membuat saya tersipu-sipu dan benar-benar mati kutu.

Pujian yang tulus merupakan penjelmaan Tuhan Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Maka, ia mengandung energi positif yang amat dahsyat. Saya telah mencoba menerapkan pujian dan ucapan terima kasih kepada orang-orang yang saya jumpai: istri, pembantu yang membukakan pagar setiap pagi, bawahan di kantor, resepsionis di kantor klien, tukang parkir, satpam, penjaga toko maupun petugas di jalan tol.

Efeknya ternyata luar biasa. Pembantu bahkan menjawab ucapan terima kasih saya dengan doa, "Hati-hati di jalan Pak!" Orang-orang yang saya jumpai juga senantiasa memberi senyuman yang membahagiakan. Sepertinya mereka terbebas dari rutinitas pekerjaan yang menjemukan.

Pujian memang mengandung energi yang bisa mencerahkan, memotivasi, membuat orang
bahagia dan bersyukur. Yang lebih penting, membuat orang merasa dimanusiakan.

(Arvan Pradiansyah)

Setiap langkah adalah Anugerah

Seorang profesor diundang untuk berbicara di sebuah basis militer. Di sana ia berjumpa dengan seorang prajurit yang tak mungkin dilupakannya, bernama Harry.

Harry yang dikirim untuk menjemput sang profesor di bandara. Setelah saling memperkenalkan diri, mereka menuju ke tempat pengambilan kopor. Ketika berjalan keluar, Harry sering menghilang. Banyak hal yang dilakukannya. Ia membantu seorang wanita tua yang kopornya jatuh. Kemudian mengangkat seorang anak kecil agar dapat melihat pemandangan. Ia juga menolong orang yang tersesat dengan menunjukkan arah yang benar.

Setiap kali, ia kembali ke sisi profesor itu dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.
"Dari mana Anda belajar melakukan hal-hal seperti itu?" tanya sang profesor.
"Oh," kata Harry, "selama perang, saya kira." Lalu ia menuturkan kisah perjalanan tugasnya di Vietnam. Juga tentang tugasnya saat membersihkan ladang ranjau, dan bagaimana ia harus menyaksikan satu persatu temannya tewas terkena ledakan ranjau di depan matanya.

"Saya belajar untuk hidup diantara pijakan setiap langkah, "katanya. "Saya tak pernah tahu apakah langkah berikutnya merupakan pijakan yang terakhir, sehingga saya belajar untuk melakukan segala sesuatu yang sanggup saya lakukan tatkala mengangkat dan memijakkan kaki. Setiap langkah yang saya ayunkan merupakan sebuah dunia baru, dan saya kira sejak saat itulah saya menjalani kehidupan seperti ini." Kelimpahan hidup tidak ditentukan oleh berapa lama kita hidup, tetapi sejauh mana kita menjalani kehidupan yang berkualitas.

"Orang-orang yang sukses telah belajar membuat diri mereka melakukan hal yang harus dikerjakan ketika hal itu memang harus dikerjakan, entah mereka menyukainya atau tidak."

Aldus Huxley

Perangkap

Teman, saya pernah membaca suatu hal yang menarik tentang perangkap.
Suatu sistem yang unik, telah dipakai di hutan-hutan Afrika untuk menangkap monyet yang ada disana. Sistem itu memungkinkan untuk menangkap monyet dalam keadaan hidup, tak cedera, agar bisa dijadikan hewan percobaan atau binatang sirkus di Amerika.

Caranya sangat manusiawi. Sang pemburu monyet, akan menggunakan sebuah toples berleher panjang dan sempit, dan menanamnya di tanah. Toples kaca yang berat itu berisi kacang, ditambah dengan aroma yang kuat dari bahan-bahan yang disukai monyet-monyet Afrika. Mereka meletakkannya di sore hari, dan mengikat/menanam toples itu erat-erat ke dalam tanah. Keesokan harinya, mereka akan menemukan beberapa monyet yang terperangkap, dengan tangan yang terjulur, dalam setiap botol yang dijadikan jebakan.

Tentu, kita tahu mengapa ini terjadi. Monyet-monyet itu tak melepaskan tangannya sebelum mendapatkan kacang-kacang yang menjadi jebakan. Mereka tertarik pada aroma yang keluar dari setiap toples, lalu mengamati, menjulurkan tangan, dan terjebak. Monyet itu, tak akan dapat terlepas dari toples, sebelum ia melepaskan kacang yang digenggamnya. Selama ia tetap mempertahankan kacang-kacang itu, selama itu pula ia terjebak. Toples itu terlalu berat untuk diangkat, sebab tertanam di tanah. Monyet tak akan dapat pergi kemana-mana.

Teman, kita mungkin tertawa dengan tingkah monyet itu. Kita bisa jadi terbahak saat melihat kebodohan monyet yang terperangkap dalam toples. Tapi, mungkin, sesungguhnya, kita sedang menertawakan diri kita sendiri.
Betapa sering, kita mengengam setiap permasalahan yang kita miliki, layaknya monyet yang mengenggam kacang. Kita sering mendendam, tak mudah memberikan maaf, tak mudah melepaskan maaf, memendam setiap amarah dalam dada, seakan tak mau melepaskan selamanya.

Seringkali, kita, yang bodoh ini, membawa "toples-toples" itu kemana pun kita pergi. Dengan beban yang berat, kita berusaha untuk terus berjalan. Tanpa sadar, kita sebenarnya sedang terperangkap dengan persoalan pribadi yang kita alami.

Teman, bukankah lebih mudah jika kita melepaskan setiap masalah yang lalu, dan menatap hari esok dengan lebih cerah? Bukankah lebih menyenangkan, untuk memberikan maaf bagi setiap orang yang pernah berbuat salah kepada kita? Karena, kita pun bisa jadi juga bisa berbuat
kesalahan yang sama. Bukankah lebih terasa nyaman, saat kita membagikan setiap masalah kepada orang lain, kepada teman, agar dicari penyelesaiannya, daripada terus dipendam?

Selasa, Oktober 23, 2007

Poison

Seorang gadis bernama Li-Li menikah dan tinggal bersama suami dan ibu mertua. Dalam waktu singkat, Li-Li menyadari bahwa ia tidak dapat cocok dengan ibu mertuanya dalam segala hal. Kepribadian mereka berbeda, dan Li-Li sangat marah dengan banyak kebiasaan ibu mertua. Li-Li juga dikritik terus-menerus. Hari demi hari, minggu demi minggu, Li-Li dan ibu mertua tidak pernah berhenti konflik dan bertengkar. Keadaan jadi tambah buruk, karena berdasarkan tradisi Cina, Li-Li harus taat kepada setiap permintaan sang mertua.

Semua keributan dan pertengkaran di rumah itu mengakibatkan suami yang miskin itu ada dalam stress yang besar. Akhirnya, Li-Li tidak tahan lagi dengan temperamen buruk dan dominasi ibu mertuanya, dan dia memutuskan untuk melakukan sesuatu. Li-Li pergi menemui teman baik ayahnya, Mr. Huang, yang menjual jamu. Li-Li menceritakan apa yang dialaminya dan meminta kalau-kalau Mr. Huang dapat memberinya sejumlah racun supaya semua kesulitannya selesai.

Mr. Huang berpikir sejenak dan tersenyum dan akhirnya berkata, Li-Li, saya akan menolong, tapi kamu harus mendengarkan dan melakukan semua yang saya minta. Li-Li menjawab, "Baik, saya akan melakukan apa saja yang anda minta." Mr. Huang masuk kedalam ruangan dan kembali beberapa menit kemudian dengan sekantong jamu.

Dia memberitahu Li-Li, "Kamu tidak boleh menggunakan racun yang bereaksi cepat untuk menyingkirkan ibu mertuamu, karena nanti orang-orang akan curiga. Karena itu saya memberimu sejumlah jamu yang secara perlahan akan meracuni tubuh ibu mertuamu. Setiap hari masakkan daging babi atau ayam dan kemudian campurkan sedikit jamu ini. Nah, untuk memastikan bahwa tidak ada orang yang mencurigaimu pada waktu ia meninggal, kamu harus berhati-hati dan bertindak dangan sangat baik dan bersahabat. Jangan berdebat dengannya, taati dia, dan perlakukan dia seperti seorang ratu."

Li-Li sangat senang. Dia kembali ke rumah dan memulai rencana pembunuhan terhadap ibu mertua. Minggu demi minggu berlalu, dan berbulan-bulan berlalu, dan setiap hari, Lili melayani ibu mertua dengan masakan yang dibuat secara khusus. Li-Li ingat apa yang dikatakan Mr. Huang tentang menghindari kecurigaan, jadi Li-Li mengendalikan emosinya, mentaati ibu mertua, memperlakukan ibu mertuanya seperti ibu-nya sendiri dengan sangat baik dan bersahabat.

Setelah enam bulan, seluruh rumah berubah. Li-Li telah belajar mengendalikan emosi-nya begitu rupa sehingga hampir-hampir ia tidak pernah meledak dalam amarah atau kekecewaan. Dia tidak berdebat sekalipun dengan ibu mertua-nya, yang sekarang kelihatan jauh lebih baik dan mudah ditemani.

Sikap ibu mertua terhadp Li-Li berubah, dan dia mulai menyayangi Li-Li seperti anaknya sendiri. Dia terus memberitahu teman-teman dan kenalannya bahwa Li-Li adalah menantu terbaik yang pernah ditemuinya. Li-Li dan ibu mertuanya sekarang berlaku sepertu ibu dan anak sungguhan. Suami Li-Li sangat senang melihat apa yang telah terjadi.

Satu hari, Li-Li datang menemui Mr. Huang dan minta pertolongan lagi. Dia berkata, "Mr. Huang, tolonglah saya untuk mencegah racun itu membunuh ibu mertua saya. Dia telah berubah mencaji wanita yang sangat baik dan saya mengasihinya seperti ibu saya sendiri. Saya tidak ingin di a mati karena racun yang saya berikan."

Mr. Huang tersenyum dan mengangkat kepalanya. "Li-Li, tidak usah khawatir. Saya tidak pernah memberimu racun. Jamu yang saya berikan dulu adalah vitamin untuk meningkatkan kesehatannya. Satu-satunya racun yang pernah ada ialah didalam pikiran dan sikapmu terhadapnya, tapi semua sudah lenyap oleh kasih yang engkau berikan padanya."

Teman, pernahkah engkau menyadari bahwa sebagaimana perlakukanmu terhadap orang lain akan sama dengan apa yang akan mereka lakukan terhadap kita? [Intel]

Ada Pepatah berkata: Orang yang mengasihi orang lain akan dikasih

Duri

Sandra masuk ke dalam toko bunga dengan langkah berat. Ia sedang mengalami hal berat dalam kehidupannya. Ketika ia sedang hamil empat bulan pada kehamilannya yang kedua, sebuah kecelakaan mobil merengut nyawa janinnya.

Pada minggu "Thanksgiving" ini, ia mungkin akan melahirkan seorang putra jika kecelakaan itu tidak terjadi. Ia sangat sedih, benar-benar terpukul atas kejadian itu. Tetapi sepertinya, kejadian itu belum cukup, perusahaan di mana tempat suaminya bekerja, menugaskan suaminya untuk bekerja di bagian cabang. Kemudian, adik perempuannya, yang ketika masa liburan tiba selalu mengunjunginya, menghubunginya karena ia tidak dapat berkunjung pada liburan kali ini.

Kemudian teman Sandra menasehati Sandra dengan mengatakan bahwa segala kedukaan yang ia alami adalah jalan Tuhan untuk mendewasakannya sehingga ia dapat bersikap lebih tenggang rasa terhadap penderitaan orang lain. "Ia tidak tahu apa yang aku rasakan," pikir Sandra dengan lirih.

Thanksgiving? Berterima kasih untuk apa? pikirnya. Untuk supir truk yang ceroboh, yang menyerempet mobilnya dengan sangat keras? Untuk kantong udara penyelamat mobil yang menyelamatkan hidupnya, tetapi mengambil hidup bayinya?

"Selamat siang, bisa saya bantu?" secara tiba-tiba ia berhenti dari lamunannya.
"Aku... aku membutuhkan persiapan untuk thanksgiving," jawab Sandra dengan gagap.
"Untuk Thanksgiving? Apakah kamu ingin suatu hal yang indah, tetapi sederhana, ataukah kamu ingin menghadirkan situasi yang berbeda seperti pilihan pelanggan di sini, yang kusebut sebagai 'Thanksgiving istimewa?' tanya penjaga toko. "Aku yakin bunga-bunga itu menceritakan sesuatu dalam kehidupanmu," lanjutnya.
"Apakah kamu mencari sesuatu yang bisa menyampaikan rasa terima kasihmu pada hari Thanksgiving ini?"

"Tidak juga!" celetuk Sandra. "Dalam lima bulan terakhir ini, semuanya yang bisa menjadi buruk benar-benar menjadi buruk."

Sandra menyesali ucapannya tadi, dan sangat terkejut ketika penjaga toko itu berkata, "Aku telah mempersiapkan sesuatu untukmu di hari Thanksgiving ini."

Pada saat itu, bel pintu toko berbunyi, dan penjaga toko menyalami seorang pelanggan yang baru saja masuk. "Hai, Barbara... tunggu sebentar yah, aku ambilkan pesananmu." Penjaga toko itu masuk ke dalam, menuju ruang kerjanya, kemudian muncul kembali sambil membawa berbagai macam persiapan untuk Thanksgiving, seperti tanaman hijau, pita-pita, dan tangkai bunga mawar duri yang panjang. Anehnya, hanya tangkainya saja, tidak ada bunganya.

"Mau dimasukkan ke dalam kotak?" tanya penjaga toko.
Sandra mengamati reaksi pelanggan itu. Apakah ini hanya lelucon? Siapa yang mau tangkai mawar tanpa bunganya! Ia menunggu seseorang tertawa, tetapi wanita itu tidak tertawa.
"Iya, Tolong yah," jawab Barbara dengan tersenyum.
"Aku kira setelah tiga tahun mengalami Thanksgiving yang istimewa, aku tidak akan tersentuh dengan nilai dari Thanksgiving ini, tetapi aku bisa merasakannya di sini," ia berkata sambil menyentuh dadanya. Dan ia pergi dengan pesanannya.

"Uh," gumam Sandra, "wanita itu telah pergi dengan, uh... ia telah pergi tanpa bunga!"
"Baiklah," kata penjaga toko, "Aku akan memotong bunga itu. Itulah Thanksgiving istimewa. Aku menyebutnya sebagai 'Karangan Bunga Berduri Thanksgiving'."

"Ayolah, kau tidak bisa menyebutkan siapa yang bersedia membayar untuk tangkai bunga seperti itu!" seru Sandra.
"Barbara datang ke toko ini tiga tahun yang lalu dengan perasaan sama seperti yang kau alami sekarang ini," si penjaga toko menjelaskan. "Ia berpikir tidak perlu banyak berterima kasih kepada Tuhan. Ia telah kehilangan ayahnya karena penyakit kanker, bisnis keluarganya juga sedang buruk, putranya terlibat dalam masalah obat-obatan, dan ia tengah menghadapi operasi pembedahan yang sangat serius."

"Pada tahun yang sama, aku kehilangan suamiku," lanjut si penjaga toko, "dan untuk pertama kalinya dalam kehidupanku, aku menghabiskan liburan sendirian. Aku tidak memiliki anak, suami, kerabat dekat, dan memiliki banyak utang."

"Jadi apa yang kau lakukan?" tanya Sandra.
"Aku belajar untuk berterima kasih atas segala penderitaanku," jawab penjaga toko itu dengan pelan. "Dulu aku selalu bersyukur kepada Tuhan atas segala hal yang baik dalam kehidupanku dan tidak pernah mempertanyakan mengapa hal yang terbaik terjadi kepadaku. Tetapi, ketika hal yang buruk menimpaku, aku mempertanyakan berbagai pertanyaan kepada Tuhan, aku menyalahkan Tuhan, aku marah kepada Tuhan! Aku membutuhkan waktu lama untuk mengerti dan mempelajari bahwa saat-saat sulit dan menderita sangatlah penting. Saat kita menderita itulah, kita memperoleh kekuatan. Aku selalu terlena dengan 'bunga kehidupanku,
tetapi ternyata duri kehidupankulah yang memperlihatkan kepadaku keindahan dari kerahiman Tuhan. Kau tahu, dalam alkitab tertulis bahwa Tuhan selalu menghibur kita ketika kita menderita, Tuhan memberikan kepada kita kekuatan, dan dari penghiburanNya lah kita belajar untuk menghibur orang lain."

Sandra mulai berpikir tentang perkataan temannya yang mencoba untuk memberitahukan kepadanya. "Aku rasa yang benar adalah aku tidak perlu dihibur. Aku telah kehilangan bayiku dan aku marah terhadap Tuhan."

Pada saat itu juga seseorang masuk ke dalam toko. "Hey, Phil!" teriak penjaga toko kepada seorang pria botak bertubuh gemuk.
"Istriku memintaku untuk mengambil pesanan Thanksgiving istimewa... dua belas tangkai duri!" canda Phil ketika si penjaga toko menyerahkan sebuah bungkusan persiapan Thanksgiving.
"Semuanya itu adalah untuk istrimu?" tanya Sandra ragu. "Apakah kau keberatan jika aku bertanya mengapa ia menginginkan sesuatu seperti itu pada hari Thanksgiving?"
"Tidak... bahkan aku sangat senang kau bertanya," jawab Phil. "Empat tahun lalu, aku dan istriku hampir bercerai. Setelah empat puluh tahun, kami berada dalam keadaan yang kacau, tetapi dengan kasih Tuhan dan bimbinganNya, kami berhasil mengatasi masalah demi masalah. Tuhan telah menyelamatkan pernikahan kami. Jenny di sinilah (sang penjaga toko) yang mengatakan kepadaku bahwa ia menyimpan vas bunga yang berisikan tangkai bunga mawar untuk mengingatkan kepadanya apa yang ia pelajari dari saat-saat 'berduri' dalam kehidupannya, dan itu sangatlah menjelaskanku. Aku membawa beberapa tangkai bunga mawar ke rumah. Lalu aku dan istriku memutuskan untuk menamai setiap tangkai bunga dengan masalah yang kami hadapi, kami berusaha untuk mengerti maksud dari masalah itu, dan ternyata duri-duri yang kami alami itu benar-benar memberikan kekuatan kepada kami, kami berterima kasih kepada Tuhan atas pelajaran dari masalah itu."

Setelah Phil membayar penjaga toko itu, ia berkata kepada Sandra, "Aku sangat menyarankan agar kau mengambil yang 'istimewa'"
"Aku tidak mengetahui apakah aku bisa bersyukur atas duri kehidupanku," kata Sandra. "Semua duri itu masih sangatlah.... baru."

"Baiklah," jawab penjaga toko itu dengan hati-hati, "pengalamanku telah menunjukkan kepadaku bahwa duri dalam kehidupan kita telah membuat bunga-bunga kehidupan kita lebih berharga. Kita menyimpan anugerah Tuhan lebih baik selama kita berada dalam masalah dibandingkan dengan saat-saat lain. Ingat, karena mahkota duri yang Yesus kenakanlah sehingga kita dapat mengalami kasihNya.
Jangan menyesali duri-duri kehidupanmu. Duri-duri kehidupanmu itulah yang membentukmu dan memberimu kekuatan."

Air mata mengalir deras di pipi Sandra. Untuk pertama kalinya sejak kecelakaan itu, ia menghilangkan duka dan penyesalannya. "Aku akan mengambil dua belas tangkai bunga berduri, tolong yah...." ia berkata sambil terisak-isak.

"Baiklah, aku akan menyiapkan mereka dalam beberapa menit," jawab penjaga toko itu dengan ramah.
"Terima kasih. Berapa semua biayanya?"
"Tidak ada. Tidak ada, yang ada hanya suatu janji bahwa kau akan mengijinkan Tuhan untuk menyembuhkan hatimu. Biarkan aku membelikanmu barang persiapan untuk Thanksgiving tahun pertamamu." penjaga toko itu tersenyum dan menyerahkan sebuah kartu kepada Sandra. "Aku selipkan kartu ini dalam barang-barang persiapan Thanksgiving, tetapi mungkin kau ingin membacanya terlebih dahulu."

Di dalam kartu itu tertulis :
"Tuhanku, aku belum pernah bersyukur kepadaMu untuk semua duriku.Aku berterima kasih kepadaMu atas segala bunga kehidupan yang kuterima, tetapi belum pernah sekalipun aku berterima kasih untuk penderitaanku. Ajarilah aku untuk menanggung beban salibku dengan tabah, ajarilah aku untuk menghargai nilai yang terkandung dari setiap penderitaan atau duri yang kuhadapi.
Tunjukkanlah kepadaku, bahwa lewat jalan yang sulit menderita, dan jalan yang penuh dengan kerikil, setiap hari aku semakin bertambah dekat denganMu.Tunjukkanlah kepadaku, ya Tuhan, lewat air mataku, warna pelangiMu yang sangat indah."

Pujilah nama-Nya untuk segala bunga kehidupanmu, berterima kasihlah kepadaNya untuk semua duri yang kau peroleh!(SA)

Anak yang Hilang

Seorang gadis muda tumbuh di perkebunan ceri tidak jauh dari Traverse City, Michigan. Orang tuanya sedikit kolot, cenderung bereaksi berlebihan pada cincin di hidungnya, musik yang ia dengarkan dan panjang roknya. Mereka menghukumnya beberapa kali, dan ia memendam kejengkelan dalam hati.

"Saya benci Ayah!" teriaknya ketika ayahnya mengetuk pintu kamarnya setelah sebuah pertengkaran, dan malam itu ia menjalankan rencana yang sudah ia pikirkan puluhan kali. Ia melarikan diri.

Ia baru sekali ke Detroit sebelumnya, dalam perjalanan dengan bis bersama kelompok remaja gerejanya untuk menyaksikan permainan tim Tigers. Karena surat kabar di Traverse City sering memberitakan tentang geng, obat terlarang, dan kekerasan di pusat kota Detroit dengan sangat rinci, ia menyimpulkan pasti orang tuanya tidak akan mencarinya ke sana. California mungkin, atau Florida, tapi tidak Detroit.

Pada hari kedua ia di sana, ia bertemu seorang pria yang mengemudikan mobil paling besar yang pernah dilihatnya. Pria itu menawarkan untuk mengantarnya, membelikan makan siang, dan mengatur agar ia punya tempat tinggal. Ia memberi gadis ini beberapa pil yang membuatnya belum pernah merasa seenak ini. Ternyata selama ini ia memang benar, pikir gadis itu: orangtuanya melarangnya menikmati segala kesenangan.

Kehidupan menyenangkan berlanjut satu bulan, dua bulan, setahun. Orang bermobil besar itu ---- ia memanggilnya "Bos" ---- mengajarinya beberapa hal yang disukai pria. Karena ia masih di bawah umur, pria membayar mahal untuknya. Ia tinggal di apartemen mewah, dan bisa
memesan layanan kamar kapan saja.

Sesekali ia teringat pada orang-orang di kampung halamannya, tapi hidup mereka sekarang tampak sangat membosankan dan kampungan sampai ia hampir tidak percaya ia tumbuh besar di sana.

Ia sedikit takut ketika melihat fotonya di belakang kemasan susu dengan judul besar "Apakah Anda pernah melihat anak ini?".

Tapi sekarang rambutnya sudah pirang, dan dengan semua riasan wajah dan perhiasan yang ia kenakan, tidak akan ada yang menyangka ia masih anak-anak. Lagipula, kebanyakan temannya adalah remaja yang melarikan diri, dan tidak ada yang berkhianat di Detroit.

Setelah setahun, tanda-tanda samar penyakit mulai muncul, dan ia terkejut melihat betapa cepat bosnya menjadi kejam.

"Jaman sekarang kita tidak bisa main-main," geramnya, dan tiba-tiba saja, ia sudah berada di jalanan tanpa uang di kantungnya. Ia masih melakukan "pekerjaannya" beberapa kali semalam, tapi bayaran mereka kecil, dan semua uang itu habis untuk membiayai kecanduannya.

Ketika musim dingin tiba, ia menemukan dirinya tidur di pagar logam di depan pusat pertokoan. "Tidur" adalah kata yang salah, gadis remaja ditengah kota Detroit malam hari tidak pernah bisa mengendorkan kewaspadaannya. Lingkar hitam mengelilingi matanya. Batuknya bertambah parah.

Suatu malam ia berbaring tanpa bisa tidur, sambil mendengarkan langkah kaki, tiba-tiaba seluruh kehidupannya tampak berbeda. Ia tidak lagi merasa menjadi wanita hebat. Ia merasa seperti anak kecil, tersesat di kota yang dingin dan menakutkan. Ia mulai menggigil. Kantungnya kosong dan ia lapar. Ia juga perlu obat terlarang. Ia melipat kakinya, dan
gemetar di bawah lembaran surat kabar yang ditumpuk di atas mantelnya.

Sesuatu muncul begitu saja di pikirannya, dan satu gambaran terbayang di matanya: bulan Mei di Traverse City, ketika jutaan pohon ceri berbuah bersamaan, ia berlarian bersama anjing golden retriever miliknya. Mengejar bola tenis di antara barisan pohon berbunga.

Tuhan, mengapa aku pergi, katanya dalam hati, dan rasa perih menghunjam jantungnya. Anjingku saja di rumah makan lebih enak daripada aku sekarang. Ia menangis, dan dalam sekejap ia tahu tidak ada yag lebih ia inginkan di dunia kecuali pulang.

Tiga sambungan telepon, tiga kali dijawab mesin panjawab. Ia menutup telepon tanpa meninggalkan pesan dua kali pertama, tapi ketiga kalinya ia berkata, "Ayah, Ibu, ini aku. Aku berpikir mungkin aku akan pulang. Aku akan naik bis ke sana, dan aku akan sampai sekitar tengah malam besok. Kalau Ayah dan Ibu tidak datang, yah, mungkin aku akan terus naik bis sampai ke Kanada".

Dibutuhkan waktu sekitar tujuh jam dengan bis dari Detroit ke Traverse City, dan sepanjang jalan ia menyadari cacat-cacat dalam rencananya.

Bagaimana kalau orangtuanya sedang keluar kota dan melewatkan pesan itu?
Bukankah seharusnya ia menunggu satu dua hari sampai bisa berbicara langsung dengan mereka?
Dan kalaupun mereka ada di rumah, mungkin mereka sudah lama menganggapnya mati. Seharusnya ia memberi waktu agar mereka bisa mengatasi rasa kagetnya.

Pikirannya bolak-balik antara rasa khawatir dan kata-kata yang disusun untuk menyapa ayahnya.
"Ayah, aku minta maaf. Aku tahu aku salah. Bukan salah Ayah, semuanya salahku. Ayah, bisakah Ayah memaafkan aku?"

Ia mengucapkan pikiran itu berulang-ulang dalam hati, kerongkongannya tercekat bahkan ketika melatihnya.
Sudah bertahun-tahun ia tidak minta maaf pada siapapun.

Bis melaju dengan lampu menyala sejak Bay City.
Butiran kecil salju yang berjatuhan di trotoar terlindas ribuan ban, dan aspal beruap. Ia lupa segelap apa malam hari disini. Seekor rusa berlari menyeberang jalan dan bis menghindarinya. Sesekali, ada billboard. Tanda yang menunjukkan jaraknya ke Traverse City. Ya, Tuhan.

Ketika bis akhirnya berbelok ke stasiun, rem udaranya mendesis memprotes, pengemudi mengumumkan dengan suara serak lewat mikrofon.
"Lima belas menit, saudara-saudara. Kita hanya berhenti selama itu di sini."
Lima belas menit untuk memutuskan hidupnya. Ia memeriksa dirinya di cermin lipat, merapikan rambutnya, dan menjilat lipstik dari giginya. Ia melihat noda tembakau di ujung-ujung jarinya dan berpikir apakah orangtuanya akan melihatnya. Kalau mereka datang.

Ia berjalan ke dalam terminal. Tidak tahu harus mengharapkan apa. Tidak satu pun dari adegan yang ia siapakan di pikirannya bisa mempersiapkannya untuk apa yang dilihatnya. Di sana, di atas kursi-kursi plastik terminal bis Traverse City, Michigan, berdiri sekitar empat puluh saudara, paman, bibi, sepupu, nenek, nenek buyut.

Mereka semua memakai topi kertas pesta dan gulungan kertas yang bisa ditiup, dan di dinding terminal ditempel spanduk yang dibuat dengan komputer bertuliskan, "Selamat pulang kembali!"

Di tengah kerumunan penyambut, muncul ayahnya. Ia memandang dengan mata perih dengan air mata sepanas air raksa, dan memulai sapaan yang sudah dihafalkan, "Yah, aku minta maaf. Aku tahu...."

Ayahnya memotong. "Sst, Nak. Kita tidak punya waktu untuk itu. Tidak punya waktu untuk permintaan maaf. Kau akan terlambat ke pesta. Sebuah jamuan menunggumu di rumah.